Beranda | Artikel
Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 9)
2 hari lalu

Syarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)

Setelah sebelumnya membahas syarat-syarat yang berkaitan dengan ‘iwadh (nilai dan barang) pada transaksi jual beli kredit, maka pada pembahasan kali ini, kita akan lebih menitikberatkan pada syarat yang berkaitan dengan ‘ajal (batas waktu atau jatuh tempo).

Syarat yang berkaitan dengan ‘ajal [1]

Maksudnya adalah syarat yang berkaitan dengan batas waktu atau jatuh tempo dalam transaksi jual beli kredit. Telah diketahui bahwasanya dalam jual beli kredit, tentunya pembayaran dilakukan secara dicicil (diangsur). Dalam hal ini, ada satu syarat yang harus terpenuhi, yaitu batas waktu harus jelas.

Dalam transaksi jual beli kredit, pembayaran haruslah dalam kurun waktu yang jelas. Hal ini menjadi syarat yang sangat ditekankan oleh para ulama. Mengingat jual beli kredit sangat erat kaitannya dengan utang piutang. Sehingga waktu harus menjadi prioritas utama dalam suatu akad jual beli kredit.

Selain itu, perlu diingat bahwa jual beli kredit adalah transaksi yang pembayarannya dilakukan secara dicicil dalam jangka waktu tertentu. Sehingga sekali lagi, waktu termasuk hal yang harus jelas (disepakati) sejak dari awal transaksi. Hal ini sejatinya untuk menghindari perselisihan di antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli kredit.

Terkait dengan syarat berupa “batas waktu harus jelas” terdapat dua hal yang penting untuk diketahui,

Pertama, pentingnya waktu yang jelas dalam transaksi jual beli kredit

Dalil akan wajibnya waktu yang jelas adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sahabat Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu berkata,

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, mereka (penduduk Madinah) mempraktekkan jual beli buah-buahan dengan sistem salaf, yaitu membayar di muka dan diterima barangnya setelah kurun waktu dua atau tiga tahun kemudian. Beliau bersabda, “Siapa saja yang mempraktekkan salaf dalam jual beli buah-buahan, hendaklah dilakukan dengan takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui, serta sampai waktu yang diketahui.” (HR. Bukhari)

Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan maksud hadis di atas,

يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الآجَال ‌لَا ‌تَحِلّ ‌إِلَّا ‌أَنْ ‌تَكُوْنَ ‌مَعْلُوْمَةً

“(Hadis ini) menunjukkan bahwa batas waktu (utang) tidaklah halal kecuali jika jelas (waktunya).” [2]

Begitupun di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang terdapat lafaz ”‘ajal”, biasanya disebut beriringan dengan lafaz “musamma”, yang berarti waktu yang ditentukan (=jelas). Allah Ta’ala berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan…” (QS. Al-Baqarah: 282)

Sehingga telah menjadi kesepakatan para ulama tentang wajibnya mengetahui batas waktu pada setiap akad yang sifatnya “utang”. Seperti jual beli salam, jual beli yang dibayar di akhir, dan jual beli kredit. [3]

Bahkan mereka menjadikan hal tersebut sebagai kaidah yang menyeluruh akan pentingnya waktu yang jelas dalam transaksi jual beli kredit. Di dalam salah satu kitab fikih Hanafi disebutkan,

وَيَجُوْزُ البَيْعُ بِثَمَنٍ حَالٍ وَمُؤَجَّلٍ إِذَا كَانَ الأَجَلُ مَعْلُوْمًا

“Dan boleh jual beli dalam bentuk cash atau utang, asalkan batas waktu (pada utang) jelas.” [4]

Kedua, dampak ketidaktahuan (ketidakjelasan) dari batas waktu (tempo) terhadap akad jual beli kredit

Dalam hal ini, para ulama berselisih menjadi tiga pendapat. Untuk memudahkan, silahkan untuk melihat tabel berikut ini.

MazhabPendapatDalil  dan Penjelasan
Malikiyah,

Syafi’iyah,

sebagian riwayat Hanabilah, dan

Zhahiriyah

Jika waktu pelunasan pada jual beli kredit tidak ditentukan dengan jelas, maka jual beli tersebut batal.– Ketidakjelasan waktu dalam jual beli kredit mengantarkan kepada gharar. Di dalam hadis Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نَهَى عَنْ بَيْعِ الغَرَرِ

 “Telah melarang jual beli gharar.”

– Ketidakjelasan waktu dalam jual beli kredit dianggap sebagai syarat yang faasid (rusak). Dan jual beli batal dengan syarat yang demikian.
HanafiJika waktu pelunasan pada jual beli kredit tidak ditentukan dengan jelas, maka jual beli tidak batal, namun hanya sekedar fasid (rusak).

 

– Mazhab Hanafi bependapat jual beli tersebut tidaklah batal, namun hanya sekedar fasid. Sehingga bisa diperbaiki dengan cara menghilangkan yang dapat menyebabkan akad tersebut fasid. Dalam hal ini adalah dengan cara menyepakati batas waktu atau menghilangkan ketidakjelasan batas waktu.
– Dalil mazhab Hanafi dalam hal ini ialah dalam jual beli kredit semacam ini telah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hanya saja, ada sedikit ketidakjelasan waktu yang menyangkut pada sifat di luar jual beli itu sendiri. Maka, jual beli itu menjadi fasid dan wajib di-faskh (dihentikan). Namun, jual beli itu masih bisa berlanjut jika diperbaiki akadnya. Dengan cara,

1. Memperjelas waktu;

2. Menghilangkan ketidakjelasan batas waktu;

3. Membayar secara cash.

HanbaliJika waktu pelunasan pada jual beli kredit tidak ditentukan dengan jelas, maka jual beli tetap sah, namun syaratnya batil.– Hadis Barirah (budak yang dimerdekakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha). Ketika tuan dari Barirah mensyaratkan kepada ‘Aisyah, jika ingin membeli Barirah, maka perwalian (loyalitas) tetap pada tuannya yang lama. Kemudian ‘Aisyah mengadukan hal tersebut kepada Nabi, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خُذِيْهَا فَأَعْتِقِيْهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمُ الوَلَاء فَإِنَّمَا الوَلَاء لِمَنْ أَعْتَقَ

“Ambillah (belilah) dia, lalu bebaskanlah. Dan ajukanlah persyaratan wala’ kepada mereka karena wala’ menjadi milik orang yang membebaskannya.” (HR. Bukhari)

 

– Sisi pendalilan dari hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan jual belinya, namun membatalkan persyaratan faasid yang berkaitan dengan syarat perwalian (loyalitas) untuk selain yang memerdekakannya. Karena syarat tersebut tidak sesuai dengan syariat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ما بالُ أقوامٍ يشترطون شروطًا ليست في كتابِ اللهِ ؟ من اشترطَ َشرطًا ليس في كتابِ اللهِ فهو باطلٌ ، وإن كانَ مائةَ شرطٍ

“Ada apa dengan suatu kaum?! Mereka mensyaratkan suatu syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah. Siapa saja yang memberikan syarat selain dari Kitabullah, maka syarat itu batil, walaupun terdapat seratus syarat.”

Ketiga pendapat di atas sebagai bentuk kehati-hatian terhadap batas waktu yang tidak jelas dalam jual beli kredit. Sehingga tentunya perlu diperhatikan terkait dengan syarat berupa “batas waktu yang jelas”.

Adapun pendapat yang terpilih adalah pendapat dari madzhab Hanbali, mengingat tidak ada dalil yang menjelaskan akan gugurnya suatu akad dikarenakan syarat yang fasid. Bahkan hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas menjelaskan bahwa akad jual beli tetap sah bersamaan dengan syarat yang fasid.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 8

***

Depok, 15 Zulhijah 1446/ 10 Juni 2025

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali.

 

Catatan kaki:

[1] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 143.

[2] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 144; dinukil dari Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i, 3: 96.

[3] Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 143; dinukil dari Al-Umm karya Al-Imam Asy-Syafi’i, 3: 96.

[4] Al-Hidaayah fi Syarhi Bidaayatil Mubtadi, 2: 24 karya Abul Hasan Burhanuddin. Lihat Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu, hal. 144.


Artikel asli: https://muslim.or.id/106645-fikih-jual-beli-kredit-bag-9.html